Selasa, 27 Juli 2010

Tiga Bayangan Putih

Pagi ini ada pendataan untuk mengikuti persami (perkemahan Sabtu Minggu) yang akan diadakan di sekolahku dua hari lagi. Kakak-kakak pengurus OSIS yang bertugas masuk ke kelasku. Mereka sibuk mendata para peserta persami. Aku yang juga ikut persami dengan sigap menulis data di formulir yang diberikan.

Aku belum genap sebulan belajar di sekolahku ini. Menurutku, persami adalah kegiatan yang menarik. Kegiatan itu bisa menjadi media bagiku untuk lebih mengenal sekolah baruku. Berdasar sejarah berdirinya, sekolahku ini merupakan bangunan peninggalan Belanda.

Menurut cerita dari mulut ke mulut, bukan rahasia lagi bahwa di bangunan sekolahku yang cukup sepuh ini ada hantunya. Tapi, justru itulah penyebab aku mau mengikuti kegiatan persami. Aku penasaran dangan cerita-cerita soal hantu yang beredar. Terkadang orang memang suka hal-hal yang berbau mistis.

"Baiklah adik-adik, kita berkumpul di sekolah pada Sabtu jam dua siang. Jadi setelah pulang sekolah Sabtu, kalian masih punya kesempatan untuk mengambil barang-barang di rumah. Dan, jangan lupa membawa senter!" ujar salah seorang kakak OSIS sambil mengumpulkan formulir yang telah diisi.

***

Tibalah hari Sabtu. Hari ini aku terbangun lebih pagi daripada biasanya. Dengan penuh semangat aku berangkat ke sekolah. Aku telah mempersiapkan barang-barang untuk persami sejak kemarin. Seluruh barang-barangku langsung kubawa agar tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambilnya.

Hari ini tidak terlalu banyak materi pelajaran yang disampaikan Bapak Ibu Guru. Pelajaran hari ini lebih banyak diisi pertanyaan-pertanyaan teman-temanku seputar persami. Rasanya tak sabar untuk mengikuti persami pada hari itu.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat dan bel tanda pulang pun dibunyikan. ''Hmm.. masih ada waktu sekitar tiga jam," kataku pada sahabatku, Lona. Sama denganku, Lona juga tidak kembali pulang untuk mengambil barang. ''Enaknya ngapain ya?" tanyaku lagi. ''Kita tunggu sambil makan aja," jawabnya dengan senyum usil. Lona memang hobi makan.

Meskipun dari segi fisik dia terlihat seperti seorang model, siapa sangka perutnya mampu menampung seember nasi? Kami lantas menuju kantin. Sesaat kemudian kami menyantap pesanan kami. ''Selamat makaaan!" ucap kami berdua. Kami makan dengan lahap.

Selesai makan, aku kenyang. Saking kenyangnya, aku sampai tidak bisa beranjak dari kursiku, sedangkan Lona terlihat biasa-biasa saja. ''Hihihi...dasar tukang makan!" ujarku dalam hati.

Setelah dia menyelesaikan makannya, peserta persami satu per satu mulai berdatangan. Pukul setengah empat sore, acara dimulai dan dibuka dengan upacara. Dengan perut yang menggembung karena kekenyangan, aku berusaha mengikuti upacara.

''Upacara selesai, pasukan dibubarkan!" seru pemimpin upacara. Akhirnya upacara selesai. Bapak Guru pendamping kemudian mengambil alih. ''Setelah ini kalian memasuki jam bebas, kalian boleh mandi atau makan dulu. Kemudian dilanjutkan acara berikutnya. Semua wajib berkumpul di lapangan tepat pukul delapan malam," ujar Bapak Guru. Anak-anak langsung berhamburan menuju tenda masing-masing.

Mereka terlihat sibuk membuat acara sendiri-sendiri di dalam tenda. Aku .dan Lona yang kelelahan langsung tertidur. Anak-anak lain memilih untuk mengobrol. Setelah puas tidur, aku segera mandi dan makan.

Dengan perut yang kembali kekenyangan, aku menuju gerombolan reguku. ''Nah, ini dia ketua regu kita," ujar Lona terkikik. Aku memandangnya dengan sewot. Setelah semua peserta berkumpul di lapangan, Bapak Guru kembali memberikan instruksi. ''Baiklah anak-anak, acara selanjutnya adalah jelajah malam mengelilingi sekolah. Jadi, tidak mungkin ada regu yang berjalan bersamaan. Kemudian kalian harus mengambil satu pita pada tiap pos untuk membuktikan kalian melewati semua rute yang ditentukan."

''Sekarang setiap regu mengambil satu senter!" seru kakak OSIS. Dengan sigap aku mencari senterku di dalam tas. Setelah mengubek-ubeknya, aku merasa janggal. Senterku tidak ada! Kemudian dengan cepat aku bertanya kepada anggota reguku yang lain. Dasar apes, ternyata kami semua tidak membawa senter. Waduh!

''Kak, apakah kami boleh pinjam senter ke regu lain?'' tanyaku memelas kepada panitia. ''Jadi, regu kalian tidak bawa senter ya? Kalu begitu konsekuensinya kalian harus jelajah malam tanpa senter!" ucap salah seorang panitia dengan tegas. Huuuh... Ya sudah, apa boleh buat. Mau tidak mau, kami harus jelajah malam tanpa senter.

Para regu dibariskan. Satu per satu regu dilepas untuk jelajah malam. Giliran berikutnya adalah reguku. Mati sudah. Tidak ada yang berani berjalan di barisan paling depan. Dengan terpaksa, sebagai ketua regu, aku harus mau sedikit berkorban. Kami mulai berjalan selangkah demi selangkah.

Suasana begitu sunyi. Kulihat ke atas. Bangunan ini sangat luas. Terdiri atas lima lantai. Kemudian kulihat peta di tanganku. Hanya samar-samar terlihat rutenya. Pandanganku jadi buram gara-gara tidak ada senter untuk penerang kami.

Kususuri setiap sudut bangunan sekolahku. Mulutku komat kamit membaca doa. Terkadang bulu kudukku berdiri ketika melongok ke dalam ruangan kelas yang meninggalkan sisa-sisa aroma kolonial Belanda.

Sudah empat pita di tanganku ketika sampai di lantai tiga. Itu berarti, tinggal satu pos lagi di lantai lima. Aku semakin tenang, sedangkan Lona yang berjalan di belakangku meremas pundakku dengan penuh ketakutan. Koridor-koridor gelap kulalui satu per satu, anak tangga yang suram dan beratap tinggi kulangkahi setahap demi setahap. Sampailah kami di lantai lima.

Kami semua tahu bahwa lantai lima adalah lantai laboratorium. Itu berarti, pos terakhir pasti terdapat di salah satu laboratorium. Kuperlambat langkahku diikuti teman-teman satu regu. Mataku berkeliling mencari pos terakhir. Ketika kulihat laboratorium fisika melalui jendela, jantungku seakan berhenti berdetak.

Entah nyata atau bukan, karena penerangan yang minim dan kaca lab yang sengaja dibuat buram, kulihat tiga kain putih melayang. ''Hantuuu!" aku berseru. Teman-temanku lantas ikut panik. Mereka mengikutiku berlari turun. Lona bahkan menangis.

Sesampainya di bawah, aku menceritakan kepada guru pendamping. Reaksi beliau hanya tersenyum simpul. ''Mereka adalah kakak kelas yang melakukan eksperimen di malam hari. Itu merupakan tugas olimpiade fisika minggu depan," jelas bapak guru sambil menenangkan aku dan teman-teman.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar