Selasa, 27 Juli 2010

Makna dalam Sebuah Mimpi

KELAUTAN membawaku tersandar di rindangnya pohon taman. Aku terdiam dan anganku menerawang. Tak ada kepedulian pada peristiwa yang terjadi di sekitar. Aku pun mulai hanyut dalam pikiranku. Ada banyak goresan yang tercipta di sana.

Goresan-goresan baru dan lama saling berbaur. Terkadang goresan tersebut membentuk garis sejajar, kadang melingkar, zig-zag, hingga goresan yang saling menyilang dan beradu. Semua terukir begitu nyata.

Satu goresan melirik kepadaku. Goresan itu telah renta dan usang. Aku mendekat, mencoba memegangnya, dan tiba-tiba aku tersadar dari anganku. Dengan kesadaran yang mulai pulih, aku bangkit dari tempatku. Tapi, kebingunganku langsung menghadang.

"Aku di mana ini?" ucapku lirih. Aku perhatikan tempat ini penuh keanehan. Aku yakin tadi bukan di sini. Pohon-pohon terlihat renta, seakan hampir putus asa menjalani hidup. Suasana langit pun abu-abu dengan aliran angin yang berdebu.

Orang-orang berjalan tidak seperti biasanya. Semua tua renta dengan keriput yang menghiasi wajah. "Kenapa semua menjadi tua?" kataku lagi. Aku masih terheran-heran dengan apa yang kulihat. Kemudian, aku berjalan menyusuri taman yang teduh itu.

Pandanganku tertuju pada kakek yang duduk di bangku taman. Dia menatap sekitar dengan pandangan menerawang, seperti orang linglung yang kehilangan kesadaran. Aku menghampiri kakek tersebut. "Kakek sendirian?" tanyaku. Lelaki renta itu tak menjawab pertanyaanku.

"Kakek kenapa?" tanyaku penasaran. Tiba-tiba air mata langsung mengalir di mata kakek itu. Tanda tanya di kepalaku semakin membesar. Kakek tersebut kemudian menatapku lekat-lekat. "Kau masih muda, Nak... Jangan sia-siakan masa mudamu," ucapnya dengan suara parau. Meski parau, aku cukup jelas mendengar apa yang dia katakan. Kakek itu lantas berkata lagi.

"Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Jangan seperti kakek yang selalu menyusahkan orang-orang," ucap sang kakek semakin terbata-bata. Aku hanya terdiam mendengarkan. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin kutanyakan kepadanya. Namun entahlah, aku lebih memilih untuk diam.

Lalu, kakek itu bangkit dan pergi meninggalkanku. Aku masih larut dalam kebingungan. "Sebenarnya, ada apa ini?" protesku dalam hati. Aku melihat di sekelilingku hanya ada orang-orang yang renta. Tidak ada satu pun anak muda atau anak kecil yang bermain di taman itu.

Satu-satunya orang muda hanyalah aku. Aku melihat sepasang kakek nenek yang duduk di bangku taman. Mereka dinaungi pohon yang siap melindungi dari sengat matahari. Kulihat mereka tengah bercengkerama. Perlahan kuhampiri keduanya. Air mata lagi-lagi menemuiku. Pasangan tersebut menangis.

"Kakek dan nenek kenapa?" tanyaku sambil sedikit membungkukkan badan. Mereka hanya tertunduk diam mendengar pertanyaanku. Tak ada satu patah kata pun yang keluar. Aku bersabar. Sang kakek kurus sekali.

Beliau duduk dengan agak membungkuk sambil memegang tongkatnya yang lapuk. Dia terlihat lelah. Begitu juga si nenek. Nenek tak berdaya dengan uban yang menyelimuti kepala. Mereka seperti sudah hidup lebih dari seratus tahun. Tak lama akhirnya, kakek melihatku.

"Kau masih muda, Nak... Jagalah dirimu baik-baik. Jangan sampai kau terjebak dan terjerembap dalam narkoba dan pergaulan bebas seperti kami," ujar kakek itu sambil memandangiku penuh kekhawatiran. Kemudian, beliau beranjak dari duduknya. Beliau mencoba berdiri tertatih-tatih sambil memegang tongkatnya kuat-kuat.

Si nenek mengikuti langkah kakek. Lalu, mereka berdua pergi dan berjalan sangat pelan. Tubuhnya yang kurus tak sanggup menahan embusan angin. Mereka meninggalkanku yang masih diliputi rasa penasaran. Aku masih berdiri keheranan sembari memikirkan kejadian aneh yang kualami sekarang.

Semakin aku berpikir, semakin aku tidak menemukan jawabannya. Keheninganku terpecah oleh suara batuk dari seorang kakek yang berjalan di dekatku. Tidak seperti yang lainnya, kakek itu agak gemuk dan berpakaian rapi dengan setelan jas perlente.

Rambutnya disisir rapi dengan belahan kiri, walaupun itu tidak bisa menyembunyikan rambutnya yang memutih. Kakek tersebut berjalan pelan sambil sesekali batuk-batuk. Aku perlahan mendekat dan memanggil kakek itu. "Kakek... kakek!" teriakku kepada kakek itu. Si kakek menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku.

Wajahnya pucat dan lesu. Matanya kelihatan letih. "Apa yang terjadi, Kek? Apakah kakek sakit?" tanyaku cemas. Kakek masih terus melihatku. "Kau masih muda, Nak. Jadilah orang yang jujur. Jangan seperti kakek ini yang selalu menyelewengkan amanah," katanya menasihatiku dengan suara yang agak serak.

Kakek itu kemudian melanjutkan langkahnya. Aku hanya bisa melihat punggung kakek yang semakin menjauh. "Ah, lagi-lagi nasihat! Semuanya memberikan wejangan kepadaku! Ada apa ini!?" tanyaku membuncah. Sudah tiga orang kakek yang kutemui. Mereka sama-sama memberikan nasihat.

Aku menyandarkan tubuhku di bawah pohon rindang. Aku mulai berpikir lebih pelan. Aku berusaha menelaah maksud dari pesan tiga kakek tadi. Aku mencoba untuk mengerti dan memahami apa yang kualami sekarang. Aku menutup mataku dan mencoba memikirkan semua sejak awal. Tiga kakek tadi begitu renta, seolah kematian siap menghadang mereka.

Mereka berpesan agar aku mengerti bahwa masa muda itu sangatlah penting. Sebagai generasi muda, aku harus banyak-banyak bersyukur dengan nikmat yang kudapat. Aku harus mensyukurinya dengan melakukan hal-hal positif dan berhati-hati di setiap tindakan. Anak muda sepertiku sangat mudah terbawa arus jika tidak ada yang membentengi. Aku memikirkan semua itu dalam-dalam. Aku merasa apa yang mereka sampaikan kepadaku bukan sembarang nasihat. Sayup-sayup kudengar suara azan menggema.

Aku membuka mataku perlahan. Tiba-tiba cahaya putih menyilaukan mataku. Cahaya itu begitu terang. Secara refleks, aku langsung memejamkan mata dan menutupinya dengan dua telapak tangan. Aku berusaha mengintip apa yang ada di depanku tersebut. Kemudian, aku mendapati diriku tersandar di pohon rindang. Aku baru menyadari bahwa aku tertidur. Mimpi yang luar biasa. ***

Penulis adalah pelajar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar